Senin, 29 Desember 2014

tugas


SEPATU LUKIS ELIS
Di mana, ya? Kok, enggak ada? “Elis mondar-mandir kebingungan. Ia sedang mencari sepatu kesayangannya. Sepatu kelinci yang dilukis dengan tangannya sendiri saat ikut kursus melukis di Sanggar Taman Sari.
                Elis duduk termenung di kursi yang tidak jauh dari rak sepatu. Ia kembali mengingat-ingat kegiatannya sehari kemarin.
                “Aaah, tertinggal di pinggir lapangan!” seru Elis sambil menggaruk-garuk kepala. Ia baru ingat, saat pelajaran olah raga kemarin, ia mengganti  sepatunya dengan  sepatu olah raga. Lalu, meletakkan sepatu lukis di bawah tiang pinggir lapangan.
                Elis bergegas mengenakan sepatu olah raga. Ia ingin segera tiba di sekolah dan mencari sepatu lukis kesayangannya. Sepatu putih yang ia hiasi dengan lukisan kupu-kupu nan cantik.
                “Semoga masih ada,” doanya dalam hati. Harap-harap cemas, Elis berlari menuju lapangan belakang sekolah.
                Sayang, sepatu itu tak ada. Ia kembali ke kelas dengan lunglai. Keringatnya berlelehan di kening.
                “Dari mana, Lis? Sampai keringatan begitu,”sapa Rani, teman sebangku Elis.
                “Sepatuku hilang,”jawab Elis, lemas. Tangannya sibuk menyeka keringat di wajah.
                “Waaah, kok, bisa? Hilang dimana?” Rani Nampak kaget. Biasanya Elis tidak pernah ceroboh.
                Usai bermain kasti kemarin, rupanya Elis asyik berbincang membahas kemenangan kelompoknya. Hingga ia melupakan sepatunya begitu saja.
                Sejak hari itu, Elis tak henti mencari sepatunya. Terkadang kembali ke lapangan, terkadang melongok tong sampah di dekat lapangan.
                Sampai suatu hari, Elis melihat seorang anak perempuan seusianya mengenakan sepatu yang mirip sekali dengan sepatunya yang hilang. Anak itu melintas di depan sekolah. Ia mengenakan seragam merah putih yang tampak kusam dan lusuh. Tas sekolahnya juga sedikit sobek di ujung bagian atas. Hanya sepatunya yang terlihat bagus.
                Esoknya sepulang sekolah, Elis sengaja menunggu anak itu lewat, lalu mengikutinya. Waaah, ternyata ia melewati lapangan belakang sekolah! Anak itu berbelok ke mulut gang yang menghadap lapangan. Jalannya kecil dan kotor. Elis harus berjlan hati-hati karena banyak genangan di sana sini. Sesekali juga harus menutup hidung, karena pengap dan bau.
                Anak itu terus berjalan melewati rumah-rumah yang beragam. Ada yang temboknya bolong, yang kacanya coreng moreng, yang halamannya dipenuhi jemuran nasi kering. Hingga ia tiba di depan bangunan yang tidak tampak seperti rumah. Tidak jelas depan belakangnya. Sekilas, seperti sebuah kamar, karena hanya memiliki satu jendela kecil.
                Anak itu mengetuk pintu. Keluarlah seorang ibu yang tengah menyusui anaknya.
                Elis berdiri di dekat rumah sebelahnya. Ia menarik napas. Ia yakin sekali, sepatu yang dikenakan ana itu miliknya. Mungkin tanpa sengaja, anak itu menemukannya di pinggir lapangan.
                Elis baru saja hendak berlalu, ketika melihat anak itu keluar lagi dengan pakaian lusuh dan kumal. Anak itu menggendong anak kecil yang tadi disusui ibunya. Ia mengambil gerobak yang terparkir di samping rumah, lalu memasukkan adiknya ke situ. Elis bersembunyi saat anak itu melewatinya.
                Anak itu mendorong gerobaknya, tanpa menyadari kehadiran Elis. Diam-diam, Elis kembali mengikutinya. Hatinya trenyuh saat melihat anak itu memunguti botol plastik yang ditemukannya. Sesekali, ia harus mendiamkan adiknya yang menangis.
                Sampai di rumah, Elis terpaksa menceritakan apa yang dialaminya pada Ibu. Karena Ibu menanyakan alasan Elis pulang terlambat.
                “Lalu, kamu akan tetap menanyakan sepatu lukis itu?”tanya Ibu sambil menyodokkan nasi ke piring Elis.
                “Gimana kalau Elis menukarnya dengan sepatu yang lain, Bu?” Elis malah balik bertanya. Ia masih berat untuk melepaskan sepatu kesayangannya itu.
                “Yaa… Ibu setuju-setuju saja, selama itu baik.”
                Selama makan siang, Elis terus memikirkan cara yang menurutnya akan membuat anak itu senang. Elis merasa kasihan dengan keadaan anak itu. Terbayang kembali saat anak itu mendorong adiknya sambil memungut botol plastik. Pasti sepatu itu juga ditemukannya saat ia mencari botol yang berserakan dekat lapangan.
                Minggu pagi, Elis berniat datang ke rumah anak itu untuk menanyakan sepatunya. Ia berniat menukar sepatu kesayangannya itu dengan sepatu lain. Sekalian ingin memberikan baju-baju yang masih layak pakai. Ia berharap, anak itu akan senang menerimanya.
                Namun, begitu tiba di depan rumah anak itu, Elis termangu. Anak itu sedang menjemur sambil mengelus-elus sepatunya. Elis mengurungkan niat. Tiba-tiba, ia sudah mengikhlaskan sepatu itu.